Pages

Judul                   : 99 Cahaya di Langit Eropa
Penulis                : Hanum Salsabiela Rais & Rangga Almahendra
Penerbit              : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal Halaman    : 392 halaman

Buku ini merupakan untaian kisah  sang penulis ketika berada di Vienna, Austria. Sebagai penulis utama buku ini, Hanum (sapaan akrab Hanum Salsabiela Rais-red) berada di Vienna dalam rangka menemani sang suami, Rangga Almahendra yang mendapat beasiswa S3 di WU Vienna. Selain itu pula, Hanum juga bekerja untuk proyek video podcast Executive Academy di kampus yang sama. 

Di ibukota Austria inilah, “perjalanan spiritual” Hanum di mulai. Tinggal di luar negeri dengan status minoritas, bukanlah sebuah perkara yang mudah untuk terus menggenggam akidah yang selama ini ia anut. Namun hal tersebut tidak terjadi pada diri Hanum dan suaminya, justru dari status minoritas itulah mereka menemukan “wajah” Islam yang sesungguhnya, seperti yang ia tuliskan pada halaman 313, “…aku jatuh cinta lagi kepada Islam.”

Ada beberapa kota di Eropa yang ia telusuri bersama sang suami, seperti Vienna, Paris, Cordoba, Granada, dan Istanbul. Kota-kota tersebut merupakan tempat yang memiliki dan menyimpan kenangan akan kejayaan Islam di bumi Eropa pada masa lalu. Misalnya saja Vienna atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan Wina, pada 300 tahun yang lalu merupakan kota terakhir di Eropa Barat yang akan dikuasai oleh Kesultanan Ottoman Turki (Khalifah Usmaniyah), sebelum pada akhirnya dipukul mundur oleh pasukan gabungan dari Jerman dan Polandia.

Selain itu pula, ada banyak cerita menarik & sedikit kontroversial lain yang diceritakan dengan elok oleh penulis. Seperti lafal “Laa Ilaa ha Illallah" yang terlukis di hijab Bunda Maria yang sedang menggendong bayi Yesus. Lukisan tersebut tersimpan rapi di museum Louvre, Paris. Cerita tentang Mezquita di Cordoba, sebuah masjid yang berubah fungsi menjadi katerdal besar di sana. Juga cerita tentang Hagia Sophia di Istanbul yang bernasib berkebalikan dengan Mezquita, sebuah katerdal Byzantium yang dirubah oleh Dinasti Ottoman menjadi masjid, hingga pada akhirnya menjadi museum atas saran dari Pemerintah Turki.

Setelah melihat satu per satu fragmen-fragmen kejayaan Islam yang tertimbun oleh kemegahan kota-kota Eropa, perjalanan Hanum berakhir di Kota Mekkah. Sebuah titik nol yang menjadi tempat berjuta-juta manusia bertawaf kepada Sang Pencipta, sebuah tempat yang menjadi pusat kiblat umat Muslim seluruh dunia. Perjalanan panjangmu tidak akan mengantarkanmu ke ujung jalan, justru akan membawamu unuk kembali ke titik permulaan. Begitulah ujar Paulo Coelho dalam bukunya yang berjudul The Alchemist. 

Labbaikallahhumma labbaik…

Buku ini ditulis dengan bahasa yang ringan dan mengalir, sehingga tidak perlu pemikiran yang berat untuk memahami semua cerita-cerita tersebut. Sebuah bacaan yang pantas dibaca oleh generasi muda muslim sekarang, agar mencintai & memahami lebih luas keyakinannya. Sehingga tidak terjebak oleh dogma-dogma yang mengatasnamakan Islam, namun jauh dari makna Islam itu sendiri. Seperti pesan Hanum pada halaman 391:

“Seribu tahun Islam bersinar, lalu pelan-pelan memudar. Aku bertanya, mengapa?
Karena sebagian umat Islam sudah mulai melupakan apa yang telah dipedengarkan Jibril kepada Muhammad SAW. Pertama kali. Karena kita terlalu sibuk bercumbu dengan kata jihad yang salah dimaknai dengan pedang, bukan dengan perantara kalam (pengetahuan).” 

Selamat membaca!
    Pada hari Sabtu, 30 Juni 2012 Bagian Psikologi Perkembangan Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro berkesempatan menyelenggarakan seminar dan pelatihan lansia dengan tema “Elder Mistreatment And Therapy”. Elder mistreatment sendiri merupakan perlakuan yang salah terhadap lansia yang dilakukan oleh orang-orang sekitar lansia tersebut, seperti anak, cucu, keluarga, ataupun orang lain. Kegiatan yang dilaksanakan di ruang 108 Gedung Soedharto, SH ini menghadirkan H. Toni Hartono (Ketua II Komisi Nasional Lanjut Usia), Dr. Hadi Martono, Sp. PD-KGer (Dokter Geriarti RSUD dr. Kariadi Semarang), Prof. Ir. Eko Budiharjo, M. Sc. (Mantan Rektor Universitas Diponegoro), dan di moderatori oleh  Dr. Yeniar Indriana.

    Pada kesempatan tersebut, Pak Toni (sapaan akrab H. Toni Hartono-red) menjelaskan bahwa populasi lansia di dunia terus bertambah dari tahun ke tahun, begitu pula di Indonesia. Beliau menambahkan, berdasarkan data dari Simposium CHRUI (2009) pada tahun 2050 Indonesia akan memiliki lansia (usia > 80 tahun) berjumlah 79,8 juta jiwa dimana angka tersebut tertinggi dibandingkan kelompok umur lainnya. “Tahun 2050 Indonesia akan menua”, ujarnya sambil tertawa.

   Setelah selesai mendengarkan materi dari Pak Toni, acara dilanjutkan dengan pemberian materi dari Pembicara II, Dr. Hadi Martono, Sp. PD-KGer. Kali ini beliau melihat elder mistreatment dari sisi kedokteran, bidang ilmu yang telah ia geluti bertahun-tahun. Beliau menjelaskan bahwa elder mistreatment mulai terkenal dari adanya artikel di British Medical Journal, tahun 1975 dengan topic “Grany’s Battering”. Dalam artikel tersebut menyebutkan bahwa perlakuan yang salah pada usia lanjut merupakan hal yang umum terjadi.

   Ditambahkannya, perlakuan yang salah ini lebih sering dilakukan oleh anggota keluarga sendiri, terutama oleh pasangan hidup dan anak yang sudah dewasa. Berdasarkan beberapa penelitian, anak perempuan lebih sering melakukan perlakuan yang salah ini kepada orang tuanya. Namun hal ini perlu ditinjau lebih berhati-hati, karena mengingat memang anak perempuan lebih sering merawat orang tuanya dibandingkan anak laki-laki.

   Setelah berlangsung selama 40 menit, acara dilanjutkan dengan materi yang terakhir dari Mantan Rektor Undip, Prof. Ir. Eko Budiharjo, M. Sc. Sebagai seorang budayawan, beliau menjelaskan perlakuan yang salah ini dari sudut pandang Budaya Jawa. Salah satu penyebab dari adanya perlakuan salah ini menurutnya adalah karena pada saat muda sang lansia berkelakuan kurang baik terhadap sesama, ataupun terhadap orang tua. Hal ini sesuai dengan pemeo yang sering kita dengar, siapa yang menanam bakal memetik.

  Dengan diselingi sedikit candaan kepada peserta seminar sehingga membuat cair suasana, beliau pun menganjurkan konsep yang ia namakan dengan “Panca Sila Lansia Jawa”, yaitu awak waras, awet urip, ati ayem, akeh gunane, antep rejekine. Kelima sila inilah yang semestinya dimiliki oleh para lansia di Indonesia, menurutnya.

   Tak terasa waktu menunjukan pukul 12.00, dimana sesuai dengan rencana, acara seminar telah selesai. Selanjutnya tibalah saatnya para peserta untuk mengikuti acara pelatihan yang dibagi empat kelas secara paralel. Kelas tersebut diantaranya (1) Entrepreneurship Training for Old Age atau Pelatihan mengatasi post power syndrome yang dipandu oleh Dra. Frieda NRH, M.S dan Nailul Fauziah, S.Psi, M,Psi (2) Pelatihan Senam Otak dan Relaksasi untuk Lansia yang dipandu oleh Dinie Ratri Desiningrum, S.Psi, M.Si, (3) Terapi Tawa yang dipandu oleh Achmad Mujab Masykur, S.Psi, M.A dan Anggun Resdasari Prasetyo, S. Psi, M. Psi, (4) Perlatihan Spiritual/Transpersonal/Terapi Auto Sugesti yang dipandu oleh  Farida Hidayati, S.Psi, M.Si.

   Acara pelatihan tersebut berlangsung selama 4 jam hingga pukul 16.00. Sebuah acara yang melelahkan, namun dari itu semua terlihat semburat senyum puas dari para peserta dan panitia. Alhamdulillah.. 

“Impian harus menyala dengan apa yang kita miliki. Meskipun yang kita miliki tidak sempurna, meskipun itu retak-retak.”

Begitulah pesan Iwan Setyawan dalam bukunya yang berjudul 9 Summers 10 Autumns. Buku terbitan PT Gramedia Pustaka Utama ini menceritakan kisah nyata penulis yang berasal dari keluarga sederhana di Kota Batu, Malang hingga mampu sukses bekerja di Nielsen Consumer Research, New York dengan posisi terkhir sebagai Director, Internal Client Management. 

Hidup dengan penuh keprihatinan dan kesederhanaan di sebuah rumah yang terletak di kaki Gunung Panderman, tak membuat Iwan kecil berputus asa terhadap masa depannya, walaupun sering kali ia dihantui oleh masa lalu sang Bapak yang berprofesi sebagai sopir angkot. Anak terakhir dari lima bersaudara ini lahir dari rahim seorang Ibu yang bernama Ngatinah. 

Sang Ibulah yang mengajarkan kesederhanaan pada Iwan kecil, seperti yang ditulisnya pada halaman 33: “garis hidupnya melahirkan sifat sederhana yang luar biasa pada diri Ibu. Dialah yang membangun ide untuk menabung, mengingatkan kami kalau perlu ke dokter, kalau mobil bisa rusak sewaktu-waktu, kalau rumah bisa bocor, kalau kami butuh makanan bergizi. Ibulah yang mengatur berapa liter nasi yang harus ditanak tanpa tersisa  keesokan harinya, kapan kami harus makan daging, ayam, atau tempe. Ibu yang tahu barang apa yang harus digadaikan untuk membeli sepatu baru untuk anaknya dan mengatur pembayaran uang sekolah kami.  Ibulah yang membelah satu telur dadar untuk dua atau tiga orang. Ibulah yang selalu menyembunyikan tempe goring supaya tidak dihabiskan salah satu anaknya. Dia menghadirkan demokrasi berbagi ditengah pergulatan hidup. Ibuku adalah cerminan kesederhanaan yang sempurna di mata kami dan kesederhaan inilah yang menyelamatkan kami. Kesederhanaan inilah yang membangun rumah kecil kami.

Kesederhanaan yang ditanamkan sejak kecil itu pula yang mengantarkan kesuksesan Iwan Setyawan  dikemudian hari. Semenjak kecil, kecerdasannya telah terlihat dengan dibuktikannya selalu berada di rangking 3 besar selama sekolah di tingkat dasar. Ketekunannya juga terus berlanjut pada saat duduk di bangku SMP, hingga mengantarkannya bersekolah di SMA 1 Batu, salah satu sekolah unggulan di Kota Malang pada saat itu.

Di SMA, ia bersentuhan dengan dunia teater yang membuka cakrawalanya, mengajarkan tentang kerja keras, disiplin, dan kesabaran (hal. 75). Ia pun lolos PMDK di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan menjadi lulusan terbaik Jurusan Statitika di kampus tersebut di akhir studinya. Dengan bekal itu, ia terus belayar hingga bekerja di Nielsen Consumer Research, New York City. Bekerja di sebuah kota yang tak pernah sekalipun ia impikan pada saat kecil dulu.

Ditulis secara mengalir dengan latar belakang kesehariannya di New York City, membuat novel ini ringan dibaca & inspiratif. Sangat pas bagi bangsa ini yang sedang membutuhkan banyak tokoh-tokoh inspiratif. Selamat membaca!

Penerbit        : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun           : 2011
Isi                  : 221 halaman

(tulisan ini dimuat di Media Edukasi Fokus SMA N 3 Purworejo Edisi September-Desember 2012)

Bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila yang jatuh pada tanggal 1 Juni 2012, ratusan mahasiswa Undip berunjuk rasa menolak kebijakan uang kuliah tunggal yang dikeluarkan oleh pihak Rektorat. Kebijakan yang lebih dikenal dengan tarif tunggal ini, menurut Reza Aulia Rahman Bhaktinagara, Presiden BEM-KM Undip, sangatlah memberatkan mahasiswa baru karena kemampuan finansial orang tua masing-masing mahasiswa berbeda. Selain itu, dengan adanya kebijakan tersebut tentunya akan berdampak langsung pada mahasiswa penerima beasiswa, seperti Bidik Misi, PPA, dan BBM.
Sekitar pukul 06.00 WIB, para mahasiswa telah berkumpul di Gedung PKM Tembalang dengan menggunakan pakaian hitam dipadu jas almamater dan membawa kertas orasi, bendera fakultas, pengeras suara, beserta peralatan demo lainnya. Setelah dirasa cukup banyak, akhirnya teman-teman mahasiswa melakukan long march  pada pukul 06.30 WIB menuju Bundaran Widya Puraya guna mencegat Rektorat yang sedang melakukan kegiatan  bersepeda sehat berkeliling kampus bersama para pejabat teras & beberapa mahasiswa di universitas ini.
Sebelum sampai di Bundaran Widya Puraya, teman-teman mahasiswa melakukan orasi di Bundaran Soedharto dengan menampilkan orator di masing-masing fakultas. Tentunya, kegiatan ini membuat lalu lintas di dalam kampus menjadi sedikit tersendat.
Fakultas Psikologi sendiri mengirimkan perwakilannya berjumlah 18 orang yang berasal dari angkatan 2010 dan 2011 di berbagai latar belakang kegiatan. Sebenarnya, unjuk rasa ini telah terkoordinir pada sore hari sebelumnya (31/5) di Bundaran Widya Puraya yang dihadiri oleh puluhan mahasiswa dengan berbagai latar belakang organisasi dan angkatan. Adapun acara yang kemudian disebut dengan  Konsolidasi Akbar Tarif Tunggal bersama Aliansi seluruh Elemen Gerakan dan Fakultas UNDIP ini menyampaikan beberapa pernyataan, diantaranya:
  1. Info Terbaru dari PR II (Pengesahan Tarif Tunggal se Nasional akan dilaksanakan Sabtu,2 Juni 2012 di Bandung, dengan ketentuan seluruh PTN di Indonesia diharuskan Menerapkan sistem tarif tunggal dan nominal tarif dikembalikan pada universitas masing-masing.
  2. Untuk sementara Undip memasang tarif sekitar 7 juta/ semester untuk Fakultas Teknik, Fakultas Ekonomika dan Bisnis. Sedangakan yang cukup mahal adalah  Fakultas  Kedokteran 20 juta/semester. Namun, tarif ini masih bisa naik/turun. 
  3. Mahasiswa Undip panaskan isu, kemudian membangun Aliansi dengan mahasiswa universitas negeri di seluruh Indonesia untuk menolak bersama penerapan tarif tunggal yang mahal. 
  4. Sikap Nyata Mahasiswa Undip: Kepung Rektorat, dengan mengoptimalkan semua wadah Mahasiswa di UNDIP dengan Tuntutan Sebagai Berikut :
 a.    Pernyataan Sikap Rektor yang Jelas dan Pro Mahasiswa
b.    Mahasiswa mengajukan MoU atau Pakta Integritas dengan isi “Menolak Tarif Tunggal”  dimana dengan cara negosiasi tarifnya atau minimal menunda untuk tahun ini. Agar mahasiswa masih mempunyai waktu untuk merancang aksi lagi
c.    Kejelasan landasan hukum untuk penerapan tarif tunggal tersebut.
d.    Lakukan booming isu melalui media-media sosial ke seluruh kawan-kawan mahasiswa di seluruh Universitas di Indonesia dengan hastag #TolakTarifTunggal.
5.     Massa yang sanggup dikerahkan Seluruh Aliansi berjumlah 540 mahasiswa, dengan Gerakan Mahasiswa UNDIP Menggugat.

           Setelah bertemu dengan Rektor, Prof Sudharto PH MES,PhD di sela-sela kegiatan  bersepeda sehat keliling kampus, akhirnya teman-teman mahasiswa dan Rektor sepakat untuk memberikan tarif yang murah untuk mahasiswa baru nanti. “ Saya sepakat dengan seluruh mahasiswa jika Undip adalah universitas rakyat yang biayanya terjangkau dan murah,” ujar Pak Rektor.

Penemuan beberapa  “gunung piramid” seperti Gunung Putri di Garut,  Gunung Sidahurip, dan juga situs megalitikum di daerah Gunung Padang yang kesemuanya ditemukan di Provinsi Jawa Barat menggemparkan dunia arkeologi kita. Betapa tidak, gunung yang selama ini dianggap hanya sebagai gunung biasa oleh masyarakat sekitar ternyata diduga oleh para ahli sebagai piramid besar yang  tertimbun oleh tanah berjuta-juta tahun yang lalu. Apabila dilihat secara seksama, gunung tersebut memang tampak berbeda dengan gunung-gunung lain, yaitu berbentuk piramid sempurna.  Selain itu, hipotesis tentang gunung piramid dikuatkan oleh penelitian hasil riset geolistrik di Gunung Sadahurip di Garut, Jawa Barat, menunjukkan struktur serupa dengan Gunung Padang.  Ada lapisan batuan yang bukan buatan alam.
Walaupun belum terbukti secara ilmiah dan juga belum ada langkah-langkah selanjutnya untuk membuktikan hipotesis tersebut, penemuan ini tentunya sangat membanggakan kita. Karena diperkirakan piramid-piramid yang ada di gunung-gunung tersebut usianya lebih tua dari Piramid Giza di Mesir, yang merupakan piramid tertua dan terbesar di dunia.
Penemuan beberapa piramid di Indonesia seolah menguatkan hipotesis seorang profesor asal Brazil, Prof. Arysio Santos dalam bukunya yang berjudul Atlantis; The Lost Continent Finally Found, The Devinitive Localization of Plato’s Lost Civilization (2005) yang menyatakan bahwa  sebagian wilayah Indonesia yang terletak di sebelah barat (dalam buku tersebut dinamakan dengan Sundaland, yang terdiri dari Pulau Kalimantan, Jawa , dan Sumatra)  merupakan wilayah Atlantis yang hilang. Dalam buku tersebut menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, seperti sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia, menurutnya, ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko .  Luar biasa.
Mitos tentang Atlantis dicetuskan pertama kali oleh seorang filsuf Yunani Kuno, Plato (427-347 SM) dalam buku Critias dan Timaeus.    Garis besar kisah pada kedua buku tersebut adalah  menceritakan tentang adanya negeri yang berada di sebuah benua di atas Samudra Atalantik arah barat laut yang sangat jauh, dimana daerah tersebut dihuni oleh bangsa yang bangga dengan peradabannya yang menakjubkan. Negeri itu menghasilkan emas dan perak yang tak terhitung banyaknya. Istana negeri itu dikelilingi oleh tembok emas dan dipagari oleh dinding perak. Dinding tembok dalam istana bertahtakan emas, cemerlang dan megah.
Disana, tingkat perkembangan peradabannya memukau orang. Selain itu, mereka memiliki pelabuhan dan kapal dengan perlengkapan yang sempurna, juga ada benda yang bisa membawa orang terbang. Kekuasaannya tidak hanya terbatas di Eropa, bahkan jauh sampai daratan Afrika.Namun, setelah dilanda gempa dahsyat, tenggelamlah ia ke dasar laut beserta peradabannya, juga hilang dalam ingatan orang-orang (Budhi, 2010).

Walaupun mitos tersebut belum tentu kebenarannya, namun apabila kita melihat potensi yang masih ada di negeri kita sekarang, tentu bukan hal yang tidak mungkin apabila negeri kita dulu merupakan Atlantis yang di maksud oleh Plato. Banyaknya emas dan perak yang terkandung di bumi Indonesia ini, banyaknya gunung berapi di Indonesia yang mengakibatkan tsunami pada zaman dahulu seperti pada Gunung Krakatau dan Gunung Tambora, dan juga apabila kita melihat peta negeri kita pada zaman Pleistosen, kita akan menemukan bahwa dulu Pulau Sumatra, Jawa, dan Kalimantan pernah bersatu, tentu menguatkan mitos yang dikemukakan oleh Plato dan penelitian selama 30 tahun oleh Prof. Arysio Santos. Wallahualam..
Jadi, tetaplah bangga dengan negara kita. Walaupun sekarang  banyak sekali korupsi yang terjadi dimana-mana, kecelakaan terjadi di berbagai pelosok daerah, kemiskinan melanda tak henti-hentinya, konflik banyak meletus , itu mungkin cobaan bagi kita semua. Sebagai generasi muda, kita harus optimis terhadap masa depan negara kita.  Tuhan mungkin sedang merencanakan yang lebih baik bagi negeri kita suatu saat nanti. Percayalah.
What we are right now, is a product of our past. If we don’t like what we see today, we change it. We make it happen. It may not be for the benefit of our own, but by God, it will be for the benefit of our children’s children (Pandji Pragiwaksono).

Sumber: Budhi, S. Patrick Tava. 2010. Misteri Kota Atlantis dan Masa Depan Indonesia. Grafindo Litera Media: Yogyakarta.
Siang malam ku selalu menatap layar terpaku
Untuk online online, online online
Jari dan keyboard beradu pasang earphone dengar lagu
Aku online online, online online

   Lagu tersebut mungkin sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Ya! Lagu yang berjudul Online ini di nyanyikan oleh Saykoji itu sempat jadi hits di medio 2009-an. Lagu tersebut menggambarkan keseharian seseorang yang dipenuhi dengan kegiatan online, mulai dari buka email, online di Facebook, buka Friendster, sampai-sampai tugas kita terbengakalai keesokan harinya. Sering kita menemukan orang dengan gaya hidup seperti itu  di kehidupan nyata, bahkan mungkin kadang kita sendiri yang mengalaminya..hehe :P

   Kehidupan di dunia maya memang banyak menawarkan kemudahan bagi kita. Di sana kita bisa melakukan berbagai hal, seperti nonton video di Youtube, chatting di Yahoo Messenger, update status di Facebook, ng-tweet di Twitter, main game online, membuat weblog pribadi, dll hingga membuat penggunanya (user) ketagihan. Tak jarang bahkan kita sampai lupa waktu, tidak makan, tidak peduli dengan sekitar, hanya  karena kita ingin selalu update di dunia maya. 

   Dalam dunia psikologi, perilaku tersebut dinamakan dengan Internet  Addiction Disorder atau disingkat dengan nama IAD. Secara awam kita bisa memanggilnya dengan kecanduan internet. Menurut Orzack, 1999 (dalam http://www.mhsource.com diambil dari http:// research.mercubuana.ac.id/proceeding/Didin_111-120.pdf), internet addiction disorder sebagai kelainan yang muncul pada orang yang merasa bahwa dunia maya (virtual reality) pada layar komputernya lebih menarik dari pada kenyataan hidupnya sehari-hari. Ada beberapa kriteria diagnostik dari Goldberg (1996) yang menunjukkan bahwa orang tersebut mengalami kelainan ini, antara lain:

1.    Toleransi
        Didefinisikan oleh salah satu dari hal-hal berikut:
  •  Demi mencapai kepuasan, jumlah waktu penggunaan internet meningkat secara mencolok.
  • Kepuasan yang diperoleh dalam menggunakan intenet secara terus menerus dalam jangka waktu yang sama akan menurun secara mencolok, dan untuk memperoleh pengaruh yang sama kuatnya seperti yang sebelumnya, maka pemakai secara berangsur-angsur harus meningkatkan jumlah pemakaian agar tidak terjadi toleransi.
2.   Penarikan diri (withdrawal) yang khas.
3.   Internet sering digunakan lebih sering atau lebih lama dari yang direncanakan.
4.   Terdapat keinginan yang tak mau hilang atau usaha yang gagal alam mengendalikan penggunaan internet.
5.   Menghabiskan banyak waktu dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan penggunaan internet.
6.   Kegiatan-kegiatan yang penting dari bidang sosial, pekerjan, atau reaksional dihentikan karena penggunan internet.
7.    Penggunaan internet tetap dilakukan walaupun mengetahui adanya masalah-masalah fisik, social, pekerjaan, atau psikologis yang kerap timbul dan kemungkinan besar disebabkan atau diperburuk oleh penggunaan internet.       

  Seperti yang telah disebutkan diatas, biasanya pengguna menghabiskan banyak waktu di depan layar monitor demi menjelajahi kehidupan di dunia maya (virtual reality), sehingga tanpa ia sadari telah melakukan penarikan diri (withdrawal) dari lingkungan sekitarnya. Ketika kita melakukan penarikan diri dari lingkungan sekitar, sama saja kita telah bersikap anti-sosial. Tidak lagi peduli dengan orang-orang disekitar kita, menjauh dari lingkungan sekitar, hingga menolak kehadiran orang lain (ignoring). Di titik inilah suatu saat kita pasti akan mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan, yaitu: kesepian.

   Karena bagaimanapun juga, fitrah kita sebagai manusia adalah berhubungan (berinteraksi) dengan sesama. Dalam kehidupan nyata, kita pasti suatu saat akan membutuhkan bantuan atau kehadiran orang lain, begitupun sebaliknya. Orang lain juga pasti akan membutuhkan bantuan atau kehadiran kita. Jangan jadikan teknologi yang dianggap dapat mempermudah kehidupan kita, malah berubah fungsinya menjadi mempersulit kita, karena kita telah memilih untuk keluar dari lingkungan sosial. 

   Ada contoh kasus di Teipei China baru-baru ini yang saya baca di Kompas.com. Chen Jung-yu, pria yang bekerja di Northern Taoyuan Cable TV sebagai teknisi, berdasarkan penyelidikan polisi mulai main game di New Taipei City Internet Cafe sejak jam 10 malam waktu setempat dan diperkirakan meninggal 10 jam kemudian. Chen telah telah membayar di muka untuk bermain selama 23 jam. Petugas warung internet (warnet) baru menyadari Chen sudah meninggal dunia 13 jam kemudian. Pada jam 3 pagi waktu setempat petugas warnet cafe  sempat melihat kepala Jung-yu sedikit terkulai dan tangannya membentang di depannya, menyentuh keyboard. Petugas warnet langsung menghubungi pihak kepolisian. Pengunjung warnet yang lain juga baru menyadari bahwa Jung-yu meninggal setelah polisi datang dan menutup warnet dengan garis polisi. 

   Setelah menjalani pemeriksaan awal di National Taiwan University, diduga penyebab kematian karena kegagalan fungsi organ setelah terjaga semalaman penuh. Polisi telah meminta izin kepada ayah Jung-yu untuk melakukan otopsi dan mengidentifikasi tubuh Jung-yu. Penyelidikan lanjutan kemudian menemukan dugaan bahwa Jung-yu meninggal akibat serangan jantung.

     Profesor Wang Chin-shou, sosiolog dari National Tsing Hua University mengatakan, kasus ini terjadi akibat kecanduan game dan internet. Kecanduan ini membuat seseorang tidak bisa membedakan kehidupan nyata dengan kehidupan virtual. Jung-yu sampai mengabaikan makan dan tidur di dunia nyata demi kehidupan virtualnya (bermain game). Pembunuhan dan kekerasan juga dapat menyebabkan pemain menjadi tidak peka terhadap lingkungan mereka yang sebenarnya. Buktinya, orang-orang di sekitar Jung-yu tak menyadari ada orang yang meninggal di warnet itu.

   Jung-yu diduga meninggal akibat serangan jantung dan kegagalan fungsi organ. Hal ini bisa terjadi akibat ruangan di sekitarnya. Menurut Hsieh Pu-lin, ahli jantung dari Paochien Hospital, duduk di sebuah warnet yang penuh asap rokok dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah akut dan membuat detak jantung tidak teratur. Tempat yang sempit di warnet juga merusak sirkulasi darah dan menyebabkan minor thrombophlebitis. Penggumpalan darah bisa naik ke paru-paru dan menghambat pernafasan. Dalam kasus yang akut, bisa menyebabkan kematian.

So, kita memang tidak bisa terlepas dari dunia maya (internet), tapi bukan berarti kita harus meninggalkan dunia nyata kita. Gunakanlah internet dengan sewajarnya, karena kehidupan nyata lebih indah dari apa yang kamu bayangkan. Percayalah! :)

Sumber:
1. http:// research.mercubuana.ac.id/proceeding/Didin_111-120.pdf
2. http://tekno.kompas.com/read/2012/02/07/08305248/Lagi.Gamer.Ditemukan.Meninggal.di.Depan.Komputer