Pages


Judul           : Segenggam Cinta dari Moskwa, Catatan Perjalanan Di Rusia
Penulis         : M. Aji Surya
 Penerbit      : Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit : 2012
Halaman      : XXIV+248


Buku ini merupakan buku pertama M. Aji Surya yang saya baca, karena beliau ternyata  telah menulis beberapa buku tentang Geliat Islam DI Rusia : Catatan Diplomat Indonesia, Vodka, Cinta, dan Bunga (VCB); Moskwa-Petersburg-Vladivostok (MPV); Seruling Diplomat (SD); dan Panduan Hemat Keliling Rusia . Buku yang terdapat prolog dari Mahfud MD ini merupakan kumpulan tulisan penulis yang dimuat  oleh Rakyat Merdeka On Line (rmol.co) pada kolom From Moscow With Love seri 1-35. Pada cerita pertama dibuka dengan cerita Masjid Jam’ul Muslimin atau sering dikenal dengan the Blue Mosque  karena kubah dan “gerbang”-nya yang berwarna biru nan cantik (hal.1). Masjid ini sangat akrab dengan Ir. Soekarno, karena berkat beliau, masjid yang saat itu beralih fungsi menjadi gudang pasca-Revolusi Bolshevic dapat digunakan lagi sebagai tempat ibadah bagi masyarakat Leningard yang sekarang berubah nama menjadi St Petersburg. Sungguh sebuah ‘berkah’ yang luar biasa bagi muslim St Petersburg kala itu. 

***

Cerita lainnya pun tak kalah menarik, kali ini sang penulis bercerita tentang WNI yang “terpaksa” pindah kewarganegaraan menjadi Warga Negara Uni Soviet/Rusia, beliau adalah Prof. Soedaryanto, seorang ekonom. Pada tahun 1964, ketika beliau baru saja lulus dari Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang, beliau mendapatkan tawaran beasiswa untuk kuliah ekonomi di salah satu universitas terkemuka di Uni Soviet. Kala itu merupakan masa kejayaan  hubungan bilateral Indonesia-Rusia sehingga banyak tawaran beasiswa yang datang dari negeri beruang merah tersebut, hal tersebut terjadi karena Presiden Soekarno membawa perahu Indonesia sedikit “miring ke kiri” dalam suasana perang dingin yang membagi dunia menjadi dua bagian, Pro Komunis disatu sisi dan Pro Liberalis disisi lainnya. Prof. Soedaryanto muda menyambut dengan bahagia tawaran tersebut, di sana pun ia belajar tentang ilmu pengetahuan koperasi. Belajar disana pun bukannya tanpa halangan, ia harus kuat terpaan hujan salju yang lebat, menyantap makanan yang terkadang tak cocok dengan lidahnya, hingga harus tekun mempelajari bahasa Rusia dan tulisan Cyrillic yang bentuknya seperti cacing kepanasan (hal. 14). Semua itu ia lewati dengan gigih hingga sekarang ia pun sukses disana. Namun, ujian sebenarnya bukanlah itu. Ketika pergolakan Partai Komunis Indonesia melanda Tanah Air dan berakhir dengan kegagalan, ia mendapat panggilan untuk pulang. Ia tak menggubrisnya karena sekolahnya baru setengah jalan. Ia hanya ingin pulang dengan membawa ijazah dan ilmu pengetahuan. Dengan ilmu, maka Soedaryanto muda yakin akan bisa mengabdi kepada mengabdi kepada negeri pertiwi lebih baik lagi.

Sayang, kengototan pria santun ini direspon secara negatif. Sebuah surat resmi datang di tahun 1966, memberitahukan pencabutan paspornya. Jadilah Soedaryanto seorang tanpa kewarganegaraan (stateless). Seperti layang-layang yang sengaja diputus talinya, tidak tahu akan kemana.   Yang paling berat adalah berhentinya hubungan dengan sanak saudaranya di Indonesia. Sebuah keadaan yang gelap gulita. Hingga pada suatu waktu, Rektor universitasnya hadir bak dewa penyelamat. Dengan kepeduliannya yang tinggi, Pria Jawa tersebut dibantu untuk mengurus administrasi hingga ia mendapatkan status baru: warga Negara Uni Soviet! (hal. 16). 

Lapangan Merah, Moscow
Dengan status barunya itu, tak lantas membuat beliau menjadi lupa dan sakit hati terhadap Indonesia. Baginya, cinta terhadap Indonesia adalah cinta mati, yang tidak berkaitan dengan kewarganegaraan. Saat ini ia menjadi seorang ekonom yang mengajak para investor Rusia untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dibidang akademis, ia selalu saja mengajak universitas di Rusia untuk bersinergi dengan univeritas di Indonesia (hal. 19). Beliaupun berucap: Ya lublu Indonesiyu (Cintaku masih tertambat padamu, Indonesiaku). Hebat!

                                                                                                *** 
Cerita keseluruhan pada buku ini berjumlah 35 cerita yang melukiskan warna-warni kehidupan di Rusia, mulai dari kehidupan muslim di Rusia, dinamika politik Rusia yang sedang belajar untuk lebih terbuka, permasalahan cuaca yang mengalami anomali, cerita tentang Soekarno dan Rusia, waria, Vodka, Formula One,  hingga cerita tentang Sabar “Gorky”, seorang pendaki tunadaksa yang berhasil menjadi tunadaksa dengan kaki satu pertama di dunia yang menaklukan Elbrus dari sisi utara yang terkenal sulit. Buku ini pun dilengkapi dengan “pelajaran” Bahasa Rusia sehingga mengajak pembaca untuk belajar mencintai Negara yang sering dijuluki negeri beruang putih (dulunya beruang merah) ini. Walupun berbicara tentang Rusia, buku ini juga terkadang menyoroti fenomena yang sama di Indonesia. Seperti fenomena berhijab yang “kreatif”, korupsi, hukum, hingga karakter bangsa. Sebuah buku yang menarik dan memiliki banyak hikmah yang terkandung didalamnya. Eta Rossiya!


Hari Senin kemarin (13/5) saya mendapatkan hal yang paling saya tunggu-tunggu sejak dua hari sebelumnya, yaitu undangan untuk menghadiri Debat Calon Gubernur Jawa Tengah yang diselenggarakan di Gedung Soedharto, SH Universitas Diponegoro, Semarang pada hari Selasa (14/5). Kabar mengenai adanya debat di kampus  sebenarnya baru saya dapatkan hari Sabtu sebelumnya di Harian Kompas, semenjak itupun saya berharap bisa hadir pada acara yang lumayan prestisius tersebut. Bagaimana tidak, acara yang secara langsung disiarkan oleh Kompas TV ini menghadirkan semua pasangan Calon Gubernur & Calon Wakil Gubernur yang akan bertarung pada Pemilihan Gubernur Jateng tanggal 26 Mei esok. Dan singkat cerita, akhirnya saya pun mendapatkan undangan itu dari seseorang! Alhamdulillah..

***

Waktu menunjukkan pukul 18:50 ketika saya berada di gerbang Gedung Soedharto, SH menjelang dimulainya acara. Nampak para awak media yang berasal dari Borobudur TV (Grup Kompas TV), Kompas TV, maupun RRI Jateng yang tengah bersiap melaksanakan tugasnya untuk meliput salah satu momen penting bagi masayarakat Jawa Tengah ini.  Sebelum memasuki ruang auditorium dimana acara berlangsung, seluruh penonton diperiksa ketat oleh penjaga keamanan tak terkecuali para pendukung pasangan calon dan tentunya saya juga. Setelah di dalam, ternyata ruangan ini sudah dipenuhi oleh para kawan-kawan mahasiswa (yang mendapat undangan) dan para pendukung calon yang tak henti-hentinya meneriakkan yel-yel calon yang mereka dukung. Dibawah kilauan lampu sorot yang benderang, selain para ‘suporter’ yang berteriak riuh rendah, para kru Kompas TV pun berlalu-lalang mempersiapkan kamera dan segala peralatannya, sungguh sebuah atmosfer yang tak biasa di gedung yang sering menjadi tempat berlangsungnya Seminar dan berbagai macam pelatihan di kampus ini.

Sebelum dimulai, acara off air diisi dengan hiburan dari Woro ‘Diatas Rata-Rata’ yang menyanyikan Keroncong Jawa dengan apik, cukup memberikan ketenangan setelah mendengarkan hiruk pikuk dari para pendukung calon pada waktu sebelumnya. Setelah lagu dinyanyikan rampung, semua orang pun bertepuk tangan dan tak lama berselang setelah itu keadaan pun riuh kembali dengan teriakan para pendukung. Akhirnya tepat pukul 07:00, kru Kompas TV memberitahukan bahwa acara on air akan segera berlangsung dan memberi peringatan kepada para pendukung calon agar tetap kondusif. Acara ini dipandu oleh host dari Kompas TV yang saya lupa namanya dan mulai memanggil para calon Gubernur-Wakil Gubernur sesuai dengan nomor urut calon, mulai dari Hadi Prabowo-Don Murdono (HP-Don), Bibit Waluyo-Sudijono SA (BISSA), dan Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko (GAGAH).

Sesi pertama dimulai dengan pertanyaan dari panelis yang terdiri dari seorang seniman Jaya Suparna & Pengamat Ekonomi Undip, Prof DR FX Sugiyanto. Para calon dipersilahkan memilih nomor amplop yang tertera pada layar belakang untuk memilih panelis. Pada sesi ini, panelis bertanya secara kritis kepada semua calon dengan waktu yang terbilang sangat sedikit, yaitu hanya sekitar 3 menit untuk tanya-jawab. Terlihat pada sesi ini, secara umum para calon Gubernur tampil lebih dominan daripada para calon Wakil Gubernur yang seolah tidak mendapatkan kesempatan untuk menjawab pertanyaan panelis. Baru pada pasangan nomor 3, Hadi Prabowo-Don Murdono  berani berbagi jawaban, namun jawaban dari keduanya bertolak belakang. Hal ini menjadi titik lemah yang diserang oleh Pak Jaya Suparna dan menyarankan mereka dengan setengah bercanda untuk berdiskusi terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan. Tak disangka, hal ini pun mengundang tawa dari semua hadirin dan cemoohan dari pendukung lawan. 

Para calon pada sesi ini menjawab dengan gaya khas mereka masing-masing. Hadi Prabowo menjawab pertanyaan  dengan gaya birokratnya, dengan sesekali mengutip peraturan-perturan pemerintah dan perundang-undangan, maklum ia bisa dibilang senior dalam birokrasi karena telah berkecipung dalam birokrasi Jateng semenjak tahun 1988. Sedangkan Bibit Waluyo lebih senang menghindari ‘bahasa-bahasa surga’, yang mudah diucapkan namun susah dilaksanakan menurutnya. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh pengalaman beliau sebagai Gubernur Jateng saat ini. Berbeda dengan dua kompetitornya, Ganjar Pranowo memberikan konsep-konsep dan solusi dengan penuh semangat untuk menghadapi problematika yang ada di Provinsi Jawa Tengah ini. Maklum, walaupun rambutnya mulai beruban, namun dapat dianggap Cagub termuda diantara para kompetitornya.

Setelah beradu argumen dengan panelis secara sengit, sesi kedua pun dimulai dengan sesi yang belum pernah saya lihat dalam acara debat di TV: Kuis. Ya! Kali ini para pasangan calon diajak untuk mengadu wawasannya tentang Jawa Tengah dengan cara menekan bel. Namun sayang,  bel pasangan Bibit Waluyo-Sudijono SA nampaknya mengalami sedikit hambatan, sehingga tidak dapat digunakan. Pak Bibit pun sedikit kebingungan dengan memencet bel berulang kali.  Melihat ini, para hadirin pun tertawa dengan tingkah kocak Gubernur Jateng ini. Oleh karena itu, mereka pun disuruh menjawab dengan cara mengangkat tangan terlebih dahulu. Walaupun begitu, Pak Bibit nampaknya lebih paham terkait Jawa Tengah karena sering menjawab dengan cepat dan tepat pertanyaan yang diajukan oleh pembawa acara, mengungguli pasangan lain. Namun diakhir sesi, sang pemenang ternyata pasangan Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko yang terus mengejar ketertinggalan di menit-menit terakhir. Selamat!

Setelah sejenak diajak tertawa oleh para calon, kini akhirnya memasuki sesi terakhir dengan mempersilahkan pasangan calon untuk menanyakan calon  yang lain. Hal yang paling seru pada sesi ini adalah ketika Ganjar Pranowo menanyakan kepada pasangan Hadi Prabowo-Don Murdono terkait rencana aksi reformasi birokrasi yang akan dilakukan oleh pasangan tersebut. Dengan khasnya, Hadi Prabowo menjawab dengan tenang dan sedikit mengutip peraturan-peraturan yang ada, namun belum selesai menjawab, Ganjar menyanggah dengan mempertanyakan rencana konkret yang ditawarkan. Karena kurang sigap, akhirnya pertanyaan tersebut dijawab oleh sang wakil, Don Murdono dengan nada emosional. Sehingga tak pelak, mengundang perdebatan diantara kedua pasangan tersebut. Dan kesimpulan pun urung didapatkan seiring waktu yang telah habis.

Acara pun berakhir dengan rangkulan dan salaman dari para calon sambil diiringi oleh lantunan lagu keroncong yang dinyanyikan oleh Woro 'Diatas Rata-Rata'...

****

  Itulah gambaran dari acara “Debat Kandidat Menuju Jateng Satu” yang disiarkan langsung oleh Kompas TV, penuh dengan keriuhan pendukung dan adu tajam argumen dari para calon ‘lurahe Jateng’. Semoga kedepannya Jateng dipimpin oleh orang yang tepat, sehingga mampu mewujudkan Jateng yang gemah ripah loh jinawi. Amin